APAI JANGGUT alias BENDI ANAK REGAI. PENYELAMAT SUNGAI UTE, SUNGAI YANG BERHARGA BAGI MASYARAKAT DAYAK IBAN DI KAPUAS HULU, KALIMANTAN BARAT.
Bandi "Apai Janggut" Anak Regal. Menjaga Sungai Ute.
APAI JANGGUT, KETUA SUKU DAYAK IBAN DI SUNGAI UTE. Foto: Pinterest.com |
Tanggal 24 September lalu, Apai Janggut datang ke New York, AS, untuk menerima penghargaan bergengsi Equatorial Prize dari UNDP. Apai mewakili masyarakat Dayak Iban yang dinilai berhasil menjaga ekosistem di Dusun Sungai Ute, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Disadur dari harian Kompas, 25/10/2019, penulis Brigitta Isworo.
Penghargaan ini diberikan kepada komunitas yang sukses mengurangi kemiskinan dengan menerapkan pemanfaatan keanekaragaman hayati atau lingkungannya secara berkelanjutan.
Upaya lokal tersebut dinilai berkontribusi pada upaya kolektif global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs).
Jauh sebelum ia menerima Equtorial Prize mewakili sukunya, Apai dikenal luas di kalangan masyarakat adat, termasuk yang ada di mancanegara. Ia dan sukunya menjadi contoh sebagai komunitas masyarakat adat yang mampu menjaga "surga yang hadir" di Dusun Sungai Ute, tempat tinggal Apai Janggut dan masyarakat adat Dayak Iban. "Surga yang hadir" itu berupa tata ekosistem kehidupan yang ideal, selaras, harmonis, dan seimbang.
Menjaga Sungai Ute, sebab air ibarat darah. Foto: Mongabay Indonesia |
Apai Janggut, Ketua Suku Dayak Iban. Foto: Yani Saloh/Mangobay Indonesia |
Terlahir sebagai Bandi Anak Regal, Apai sudah mendapatkan semua ''ilmu" untuk menjadi orang Dayak Iban. "Rumah Adat di Sungai Ute itu tidak boleh dikosongkan. Pokoknya harus ada penghuninya," ujar Apai saat ditemui di Jakarta menjelang penghargaan Equatorial Prize pada Senin 16/9/2019 di Jakarta.
Dusun Sungai Ute sekarang sering disebut Sungai Utik. Dusun tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Apai menuturkan, bagi orang Dayak Iban, rumah tidak boleh ditinggal dan menjadi dingin. Apabila rumah kosong, berarti tidak ada kegiatan menyalakan api sehingga rumah menjadi dingin. "Kalau sampai dingin, kita akan kena musibah," kata Apai.
Rumah betang, luas sekali ya... seperti hotel layaknya |
Batasnya adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari rumah ditinggalkan, maka penghuninya akan dijatuhi sanksi adat, yaitu dengan denda, berupa uang, ayam, dan parang.
Ayam digunakan untuk menangkal jika ada musibah orang sakit. Darah ayam untuk memberi tanda pada semua warga. Apabila ada musibah orang meninggal dalam kurun waktu itu, dendanya berupa uang yang bisa mencapai Rp. 30 juta.
Bentuk denda uang baru muncul belakangan ketika tempayan dan gong tua yang asli dari leluhur semakin menghilang karena banyak yang rusak. Semakin kaya seseorang, semakin banyak tempayannya karena bisa membeli dari yang lain. "Sekarang barang-barang itu sudah langka karena sudah banyak yang rusak," kata Apai.
Pada masa sekarang, alasan orang Dayak Iban meninggalkan rumah betang dalam jangka lama karena bekerja di Malaysia. Menjaga rumah betang tetap ditinggali secara penuh menjadi isu krusial kerena di beberapa suku Dayak, rumah betang yang kosong menghilangkan tradisi membangun kesepakatan bersama seluruh warga.
Ketika tradisi hilang, maka eksistensi masyarakat adat terancam hilang. Keberlangsungan tradisi dan adat istiadat menjadi salah satu syarat pengakuan negara terhadap suatu komunitas masyarkat adat. Apai menjelaskan, "Kami selalu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat adat di rumah betang. Kami semua berkumpul untuk membuat kesepakatan rumah betang."
MENGHENTIKAN KONFLIK
Kakek Apai adalah ketua suku, Tumenggung Judan yang menguasai tujuh kampung di wilayah Sungai Ute yang disebut Ketemanggungan Sungai Ute.
Kata ute dalam bahasa Mbalo adalah putih. Ketika itu situasi masih kacau karena banyak perang antarsuku. Dayak Iban adalah suku yang pandai berperang, dengan tradisi ngayau (berburu kepala).
begini penampilan kstaria Dayak Iban dalam pakaian keprajuritannya. Foto Pakatdayak |
Pada mulanya, sang kakek yang dari Lanjak meminta wilayah Sungai Ute dari suku Dayak Tamambaloh melalui bangsawan (samagat) di Ulak Pao, Maling Malungsa, penguasa Sungai Ute.
Suku Dayak Tamambaloh kemudian berpindah ke pesisir Embaloh dan menyerahkan Sungai Ute. Seluruh masyarakat adat di Kapuas Hulu ada 30 lebih suku.
"Pemberian itu ada syaratnya, yaitu harus menjaga jangan ada pembunuhan lagi. Mereka meminta, jaga kampung tetap bagus, selagi kalian di sini, kalian memiliki apa yang ada di hutan ini. Pelihara yang ada di sini, jangan dijual," kata Apai, mengulang pesan Maling.
"Kami ini sudah lebih satu abad, sudah 130 tahun turun dari Lanjak ke Sungai Ute. Dulu selalu berperang antar suku. Kami yang membuka perdamaian. Dulu orang masih kejam, tidak bisa menjadi kawan," ujar Apai tegas.
"Kami Iban, kalau sudah mau dia tidak ada mundur. Filsafatnya yaitu, agek hidup agek ngelaban, selagi masih hidup masih berjuang," kata Apai.
MENOLAK HPH (HAK PENGUSAHAAN HUTAN)
Falsafah itulah yang mendasari penolakan mereka kepada pengusaha yang mencari izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan semua aktivitas pembalakan liar. Selama kurun waktu 1980-an hingga akhir1990-an, Sungai Ute dihadapkan pada ancaman pengrusakan hutan karena pembalakan liar dan upaya masuknya HPH.
Apai mengatakan, "(Izin) HPH itu dibuat di atas kursi (pejabat), tidak mengetuk pintu kami." Tulisan "INI WILAYAH KAMI" yang dipasang pihak luar dijawab dengan ,"KALAU MAMPU BERTANGGUNGJAWAB ATAS SELURUH DUNIA, BOLEH BUKA. KALAU TIDAK, JANGAN."
Kalimat itu menjadi lazim di kalangan aktivis lingkungan. Menurut Apai, kalau pengusaha dapat mengembalikan semua pohon dan seisi hutan persis seperti semula, sukunya akan mengizinkan.
Sempat terjadi upaya memecah belah warga. Ada uang dan ada mie instan berdus-dus dikirim. Namun, warga Sungai Ute bergeming. Pengusaha datang dan pergi. "Biar kami miskin tetapi kami punya wilayah adat berupa hutan yang bagus," kata Apai.
Semua kekompakan didasarkan pada kesepakatan rumah betang. Mereka membagi wilayah hutan dengan jelas, dan ada aturan tegas berupa sanksi adat bagi yang melanggarnya.
Di lahan seluas 10.000 hektar tersebut, sekitar 6.000 hektar menjadi hutan lindung, dan 3.500 hektar untuk berladang. Wilayah yang dilindungi dibagi dalam beberapa fungsi, yaitu sebagai hutan keramat yang di dalamnya ada makam leluhur, dan hutan cadangan untuk masa depan.
Hulu Sungai Ute, yang berair jernih menghidupi hutan lindung dan ekosistem Dayak Iban. Foto Foto: Andi Fachrizal-Mongabay Indonesia |
Berbagai ritual masih mereka adakan dalam siklus kehidupan mereka. Misalnya, ketika akan berladang, maka tak boleh memegang barang keramat karena akan turun hujan. Bentuk benda keramat bisa batu atau kayu. Filosofi yang mendasari kehidupan masyarakat adat suku Dayak Iban di Sungai Ute yaitu tanah adalah ibu, hutan adalah ayah, dan air adalah darah.
Ketika ancaman investasi yang bersifat ekstraktif kemungkinan terus hadir, dari dalam masyarakat Sungai Ute, Apai Janggut telah membangun sekolah adat.
Apai Janggut membuat Sekolah Adat untuk generasi penerus Suku Dayak Iban. Foto; Abdon Nababan |
"Sampai anak kecil pun sudah tahu, mana hutan yang boleh dirambah mana yang tidak. Apa yang keramat dan sebagainya, mereka sudah tahu," ujar Apai yang sering kali menunjukkan mimik jenaka di tengah keseriusan dan ketegarannya melindungi hutan dan masyarakatnya.
Filosofi masyarakat Dayak Iban juga sederhana. "Kami tidak mau kurang, kami tidak mau lebih. Kalau milik kami dikurangi, kami akan berkelahi. Kalau kami mau lebih, juga (akan) berkelahi. Kami ingin semua damai."
BANDI ANAK REGAI
Lahir: Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan BaratPendidikan: tradisi suku Dayak Iban
Penghargaan: Equatorial Prize dari UNDP mewakili masyarakat suku Dayak Iban.
/IM
Lihat juga:
- Mustafa Badrun. Memulihkan hutan mangrove di Indragiri Hilir
- I Made Kikik. Selamatkan Penyu Lekang di Pantai Saba, Kab. Gianyar, Bali
- Max Welly Lela. Ahli Pembiakan Burung Maleo
- Fathul Yusro. Membukukan 208 Tanaman Obat Kalimantan Barat