Ikhwal Burung Maleo yang terancam punah, wajib diketahui oleh siswa sekolah. Maleo adalah burung/unggas yang khas Indonesia dan hanya ada di Pulau Sulawesi.
Upaya konservasi ex situ (di luar habitat) oleh Dr. Mobius Tanari di Maleo Center di bawah perusahaan gas Donggi-Senoro LNG - Sulawesi Tengah, patut kita apresiasi. Dr. Tanari berhasil menemukan cara menetaskan telur maleo dengan mesin penetas.Tulisan ini disalin dari harian KOMPAS- Ekspedisi Wallacea. Ditulis oleh: Mohamad Final Daeng/Luki Aulia/Aris Prasteyo
Maleo suka bertelur di kawasan pantai berpasir, atau di hutan yang memiliki sumber panas bumi. Foto: GoodNewsfromIndonesia. |
Dr. Mobius Tanari, di depan alat mesin tetas yang dibuat dengan metode penetasan yang diuji olehnya. Foto: Kompas.com - Ekspedisi Wallacea |
Dr. Mobius Tanari (kanan) saat pelepasliaran anakan burung maleo berusia 1-2 bulan kembali ke habitat aslinya di Suaka Margastwa Bakiriang. Foto: Obormotindok online |
Melepasliarkan kembali Maleo di habitatnya, Suaka Margasatwa Bakiriang, oleh insitusi Maleo Center dibawah Donggi- Senoro LNG, Sulawesi Tengah. Foto: AntaraNews |
Perjumpaan Dr. Mobius Tanari (52 tahun) dengan burung maleo 18 tahun yang lalu membawanya mengarungi jalan perjuangan yang kelak menjadi misi besar dalam hidupnya. Mobius bertekad melepaskan satwa endemik Sulawesi itu dari bayang-bayang kepunahan.
Hujan sejak pagi masih saja awet saat Kompas berbincang dengan Mobius Tanari di Maleo Center, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (26/6/2019) siang.
Fasilitas konservasi maleo milik PT Donggi-Senoro LNG (DSLNG) itu terletak di pesisir Desa Uso, Kecamatan Batui, sekitar satu jam perjalanan mobil arah barat daya Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai.
Mobius Tanari adalah tenaga ahli yang dilibatkan PT DSLNG dalam mengelola fasilitas konservasi ex situ (penangkaran di luar habitat alami maleo seluas 2.000 meter persegi tersebut. Kiprah Mobius berlangsung sejak awal pendirian fasilitas itu pada 2013.
Tahun 2001, dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu, itu mendalami studi maleo (Macrochepalon maleo) saat menempuh pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor.
Maleo menjadi topik disertasinya berjudul “Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik, serta Pengembangan Teknologi Penetasan Ex Situ Burung Maleo” yang rampung pada 2007.
Lembaga Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan maleo dalam daftar merah satwa yang berstatus terancam punah (endangered). Status ini hanya berada dua level sebelum punah total. Jika itu terjadi, bukan hanya Indonesia yang kehilangan, melainkan juga seluruh dunia karena hewan yang mengagumkan ini hanya terdapat di Sulawesi.
Dari survei organisasi konservasi BirdLife International pada 2016, populasi hewan ini diperkirakan hanya tersisa 8.000 -14.000 ekor di alam liar. Habitat maleo tersebar di seluruh pulau Sulawesi, kecuali di Sulawesi Selatan.
Satu poin penting dari disertasi Mobius adalah konsep konservasi maleo secara ex situ dengan teknologi inkubasi untuk penetasan telur.
Dari penelitian dua tahun, Mobius menemukan tingkat keberhasilan penetasan telur maleo di alam sangat kecil, karena tingginya ancaman, yakni hanya 20-37% . "Tekanan terhadap maleo sangat tinggi,” ujarnya.
Maleo bertelur di kawasan pantai berpasir, atau di hutan yang memiliki sumber panas bumi (geothermal). Induk maleo menggali hingga ke dalam 70 sentimeter untuk meletakkan telurnya lalu dikubur kembali. Setelah itu proses pengeraman hingga penetasan diserahkan sepenuhnya kepada alam. Sejak menetas anak Maleo sudah mandiri.
Kondisi itu memunculkan resiko besar. Salah satu ancamannya adalah perburuan, baik yang dilakukan manusia maupun predator alami, terutama biawak. Selain itu, ada pula ancaman faktor cuaca yang tak menentu.
Telur maleo membutuhkan suhu dan kelembapan udara tertentu agar bisa menetas. Jika cuaca terlalu panas, terlus bisa gagal menetas, begitu juga sebaliknya.
Saat musim hujan, suhu tanah bisa merosot melampaui batas minimal yang dibutuhkan. “Kondisi ini membuat proses regenerasi maleo menjadi lambat,” kata Mobius.
Perhatian Mobius pun menemukan suhu ideal untuk penetasan telur maleo, yakkni pada rentang 32-36 derajat Celcius dengan tingkat kelembaban nisbi 70 persen. Kondisi itu dapat dicapai dengan teknologi inkubasi.
Konsep ex situ dengan bantuan inkubator yang digagas Mobius itulah yang kemudian diadopsi PT DSLNG dalam konservasi di Maleo Center. Mobius meyakini konservasi ex situ adalah model yang paling tepat.
Melalui inkubasi, lanjut Mobius, tingkat keberhasilan penetasan telur mencapai 90%. Telur-telur yang ditetaskan itu sitaan dari para pemburu liar.
Maleo yang ditetaskan lalu dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bakiriang, salah satu habitat alami maleo di Banggai. Hingga kini, Maleo Center telah melepas-liarkan 85 ekor maleo yang berusia rata-rata 1 bulan.
Saat ini, Maleo Center juga memelihara 16 maleo yang ditetaskan dari proses inkubasi, terdiri atas 5 betina dan 11 pejantan. Hal itu untuk tujuan pengembangbiakan.
“Masih banyak misteri yang belum terpecahkan dari Maleo. Masih banyak yang perlu diteliti.” Dr. Mobius Tanari
Pengeraman dengan inkubator juga memiliki keunggulan lain, yaitu hanya membutuhkan waktu 60 hari. Hal ini lebih cepat dengan proses secara alami yang memakan waktu 70-90%.
Selain mengawasi proses inkubasi, Mobius terus meneliti seluk-beluk maleo. Di antaranya seputar morfometri dan pertumbuhan maleo, identifikasi jenis kelamin maleo berdasarkan perbedaan morfologi, penentuan umur pubertas maleo yang dipelihara secara ex situ, serta kajian hormonal dan tingkah laku maleo.
Dia mengungkapkan, jika populasi maleo bisa terus bertambah secara signifikan, sehingga dapat terlepas dari status terancam punah dan status dilindungi, tidak tertutup kemungkinan maleo bisa didomestifikasi seperti jenis unggas lain. “Masih banyak misteri yang belum terpecahkan dari Maleo. Masih banyak yang perlu diteliti,” ujarnya.
TIPS MENETASKAN TELUR MALEO
1. Suhu ideal: 32-36 derajat Celcius2. Kelembaban nisbi 70 persen
3. Masa Inkubasi 60 hari (lebih cepat dari di alam sekitar 70-
85 hari)
contoh bentuk mesin tetas untuk telur maleo yang cukup efektif dan dapat dikerjakan di luar habitat atau tidak secara alami. Dok. Universitas Tadulako |
begini cara menata telur dalam mesin tetas/inkubator. Foto: Kompas.com - Ekspedisi Wallace |
Biografi Dr. MOBIUS TANARI
Lahir : Rantai Damai, Luwi, 19 Februari 1967
Pendidikan:
· S-1 Peternakan, Universitas Tadulako (1985)
· S-2 Peternakan, Universitas Gajahmada, (2000)
· S-3 Peternakan, Universitas Pertanian Bogor (2007)
Istri : Titin Budi Wahyuti (alm)